• PUTUSAN ATAS HUKUMAN MATI

    Jakarta, 22 Oktober 2007 – Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus uji UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) khususnya tentang ketentuan hukuman mati terhadap UUD 1945, Selasa 30 Oktober 2007 pukul 09.30 WIB di ruang sidang utama MK.
    Permohonan Perkara No. 2/PUU-V/2007 ini diajukan oleh empat orang, yaitu Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia), keduanya sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan Krobokan, Kuta, Bali. Para Pemohon tersebut diwakili Kuasa Hukumnya, Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., Ir. Alexander Lay, S.H., LL.M., dan Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., M.H.,

    Sedangkan Denny Kailimang, S.H., M.H. dkk. selaku Kuasa Hukum dari Scott Anthony Rush, warga negara Australia yang telah dijatuhi vonis pidana mati oleh Mahkamah Agung dan kini menempati Lembaga Pemasyarakatan Krobokan, Bali, memohonkan pengujian hal yang sama melalui perkara No. 3/PUU-V/2007.
    Putusan hukuman mati bagi para Pemohon didasarkan pada pasal-pasal ancaman pidana mati dalam UU Narkotika, yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (in kracht van gewijsde). Namun terhadap diri para Pemohon belum dilaksanakan hukuman mati. Dalam penjelasan permohonan, para Pemohon menyatakan bahwa putusan hukuman mati tersebut jelas sangat merugikan kepentingan dan hak konstitusional para Pemohon untuk hidup, sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
    Oleh karena itu, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf a UU Narkotika bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, serta menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    Persidangan ini pertama kali digelar Kamis, 1 Februari 2007 untuk perkara No. 2/PUU-V/2007 dan Selasa, 6 Februari 2007 untuk perkara No. 3/PUU-V/2007 hingga terakhir pada Rabu, 20 Juni 2007 dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari perguruan tinggi di Indonesia. Selama enam kali proses persidangan berlangsung, telah banyak memunculkan pendapat pro dan kontra dari para pihak dan para ahli.
    Dari pihak pro hukuman mati, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjend. I Made Mangku Pastika sebagai Pihak Terkait Langsung, menyatakan adanya ancaman pidana mati tak membuat jera para pengedar narkoba, apalagi bila tak ada hukum yang mengatur larangan peredaran narkoba, Indonesia bisa dipastikan terancam mengalami lost generation (kehilangan generasi), Kamis (15/03).
    Keterangan Komjend. Pastika di atas didasarkan pada berbagai data, antara lain, dalam lima tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi peningkatan perkara narkoba sebesar 34,4 %. Per tahun, 15.000 orang di Indonesia mati karena narkoba. “Artinya, 41 orang setiap hari mati baik karena overdosis ataupun HIV/AIDS akibat narkoba. Ketika artis Alda Risma mati karena narkoba, pada hari itu juga, 40 orang lainnya juga mati karena hal yang sama,” ungkap Pastika.
    Sementara itu, Rabu (23/05), Mantan Anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja (PAH I BP) MPR Patrialis Akbar, S.H. dan Drs. Lukman Hakim Syaifuddin menjelaskan bahwa hak untuk hidup yang dilindungi oleh Pasal 28I UUD 1945 yang menjadi salah satu hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights), ternyata dapat dikurangi atau dibatasi keberlakuannya dengan undang-undang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
    Rabu (20/06), Dr. M. Arief Amrullah, S.H., MHum. dari Universitas Jember menjelaskan bahwa semua orang boleh membela diri ketika hak hidupnya diancam. Penjatuhan pidana mati oleh negara, menurut Arief, adalah pelanggaran HAM bila dilakukan sewenang-wenang atau tanpa dasar yang sah menurut hukum yang berlaku.
    Sementara itu, Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. dari Universitas Sumatera Utara menjelaskan bahwa terkait dengan Pancasila yang memuat nilai-nilai agama, hak hidup juga diakui sebagai hak setiap orang. “Hanya Allah yang berhak menentukan hidup-matinya seseorang. Tapi cara hidup dan matinya seseorang itu, hanya dia sendirilah yang menentukan. Artinya, bagi penjahat narkoba, memilih cara mati dengan hukuman mati,” urai Mahmud.
    Sedangkan dari pihak kontra hukuman mati, Ahli dari Pemohon, Profesor Philip Alston, New York University School of Law, Amerika Serikat menyatakan kejahatan narkotika tak termasuk dalam kejahatan serius yang patut dikenai sanksi hukuman mati, karena kejahatan narkoba tak secara langsung mengakibatkan kematian pada manusia, Rabu (18/04). Alston juga memaparkan bahwa hukuman mati masih banyak diberlakukan di negara-negara asia, negara-negara amerika latin sudah mulai menghapus, sedangkan negara-negara eropa telah sama sekali menghapus hukuman itu. “Namun perlu tidaknya sanksi hukuman mati pada akhirnya dikembalikan pada kebijakan hukum negara-negara yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum internasional yang ada,” jelasnya.
    Sementara itu, Prof. Dr. Arief Sidharta dari Universitas Parahyangan menerangkan bahwa hukum pidana seharusnya berfungsi sebagai upaya resosialisasi bagi narapidana supaya bisa mengembalikan ketaatan seseorang ketika telah berada di tengah-tengah masyarakat. Hukuman mati, lanjut Sidharta, juga tidak terbukti menghasilkan efek jera daripada ketika menerapkan hukuman seumur hidup tanpa remisi. “Resiko lain dari pelaksanaan hukuman mati adalah, ketika di kemudian hari ternyata terbukti ada kesalahan dalam menjatuhkan putusan dan eksekusi mati telah dilakukan, maka pemerintah hanya bisa meminta maaf tanpa bisa mengembalikan nyawa si terpidana,” papar Sidharta.

0 comments: