• Dosen Hukum Pajak Uji UU PPh ke Mahkamah Konstitusi

    Lima belas pasal dalam UU Pajak Penghasilan dinilai tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945. “Saya seperti berkhianat. Karena yang saya ajarkan ke mahasiswa bertentangan dengan konstitusi”.

    Hati kecil Prof. Moenaf Hamid Regar berontak. Dosen Hukum Pajak di Universitas Sumatera Utara (USU) ini merasa ketentuan seputar pajak penghasilan yang diajarkan ke mahasiswa selama ini sebagai sebuah kesalahan. Pasalnya, acuan yang digunakannya selama ini adalah UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). “Saya seperti berkhianat. Memberi kuliah, padahal (materinya,-red) bertentangan dengan konstitusi,” ujar Moenaf, di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Senin (19/10).

    Moenaf memang sedang bertindak sebagai pemohon pengujian UU PPh yang sidang perdananya baru digelar. Tak tanggung-tanggung, ia menguji lima belas pasal sekaligus dalam UU itu. Ia menilai pasal-pasal itu menabrak ketentuan Pasal 23A UUD 1945.

    Moenaf mengatakan secara tegas Pasal 23A menyebutkan ‘Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang’. Namun, ia mengaku tak menemukan amanat ini dalam lima belas pasal yang diajukannya untuk diuji. “Pasal-pasal dalam UU PPh justru mengamanatkan lagi bahwa ketentuan lebih lanjut diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan atau bahkan ketetapan Dirjen Pajak,” ujarnya.

    Pasal-pasal yang diuji adalah Pasal 4 ayat (2); Pasal 7 ayat (3); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7); Pasal 17 ayat (2), ayat (2a), ayat (2c), ayat (2d), ayat (3), ayat (7); Pasal 19 ayat (2); Pasal 21 ayat (5); Pasal 22 ayat (1) huruf c, ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8).

    Pasal 17 ayat (2d) menyebutkan ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah’. “Ini kan tidak benar. Seharusnya kan besaran tarif pajak itu harus diatur dalam UU,” ujar Moenaf.

    Moenaf berpendapat seharusnya UU PPh harus berubah setiap tahun layaknya UU APBN. “Di negara-negara lain memang seperti itu,” ujarnya. Ia menegaskan pembentuk UU lah yang akan menentukan tarif pajak setiap tahunnya.

    Salah satu pasal yang disorot adalah Pasal 14 ayat (1). Ketentuan itu berbunyi ‘Norma penghitungan penghasilan neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak’. Moenaf menilai ketentuan ini sudah kebablasan. “Apa urusannya dengan Dirjen Pajak. Dia kan PNS (pegawai negeri sipil) sama seperti saya,” sindirnya.

    Pendelegasian
    Hakim Konstitus Arsyad Sanusi menelisik pengetahuan Moenaf terhadap urutan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004. “Apa anda paham mengenai hal itu?” tanya Arsyad. Ia melanjutkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 dikenal istilah delegasi peraturan perundang-undangan. Yakni, pendelegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke yang lebih rendah.

    Salah satunya adalah kasus yang dipersoalkan oleh Moenaf. Meski Pasal 23A UUD 1945 mengamatkan pengaturan mengenai pajak diatur dalam UU, maka bukan berarti UU tak bisa mendelegasikannya ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. “Makanya, UU mendelegasikan kembali ke PP atau Peraturan Menkeu,” tambah Arsyad.

    Moenaf mengaku paham mengenai proses pendelegasian tersebut. Namun, ia menolak bila ketentuan mengenai tarif pajak bisa didelegasikan diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Ia tetap bersikukuh tarif pajak harus diatur dalam UU. “Jadi, ada yang bisa didelegasikan, ada yang tidak bisa,” tuturnya.

    Ketentuan yang bisa didelegasikan, contoh Moenaf, adalah pedoman pelaksanaan pembayaran pajak. “Itu bisa diatur oleh PP atau Peraturan Menkeu,” tuturnya. Sedangkan, tarif pajak, sanksi pajak dan objek pajak tak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UU. “Tiga hal itu harus diatur dalam UU,” tegasnya.

0 comments: