• Mantan Teroris Minta MK Batalkan UU Terorisme

    Meski hanya mencantumkan empat pasal yang diuji, pemohon sejatinya meminta agar MK membatalkan keseluruhan UU Terorisme. “Kami minta dibatalkan agar dibuat UU Terorisme yang baru yang lebih baik,” ujar pemohon.

    Tindakan pemberantasan terorisme oleh pemerintah Indonesia seakan tak kenal henti. Ini terbukit dengan dibunuhnya gembong teroris nomor wahid di Indonesia, Noordin M Top. Paca kematian Noordin, pria yang diprediksi akan menggantikannya, Saefuddin Jaelani juga harus mangkat diterjang pelor Detasemen Khusus 88. Namun, ditengah-tengah gencarnya langkah pemerintah ini, dasar hukum yang digunakan pelaku terorisme justru diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    Adalah Umar Abduh, Haris Rusly, John Helmi Mempi, dan Hartsa Mashirul yang bertindak sebagai pemohon. Mereka mengajukan pengujian UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme digugat oleh tiga warga negara Indonesia. “UU itu harus sudah diganti,” tegas Umar Abduh di Gedung MK, Senin (19/10).

    Sekedar mengingatkan, Umar Abduh memang bukan orang sembarangan dalam gerakan terorisme. Ia pernah menjadi narapidana dalam kasus pembajakan pesawat Garuda di Thailand pada 1980. Selaku perancang pembajakan, Umar dihukum penjara seumur hidup di pengadilan negeri. Di tingkat banding, hukumannya berkurang menjadi 15 tahun penjara. Setelah menjalani hukuman 11 tahun penjara, ia pun dibebaskan.

    Para pemohon sebenarnya hanya mempersoalkan empat pasal dalam UU Terorisme tersebut. Yakni, Pasal 5, Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 45. Umar menilai ketentuan tersebut dan beberapa ketentuan yang lain sudah tidak efektif lagi dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme. “Makanya, kami minta dibatalkan agar dibuat UU Terorisme yang baru,” ujarnya.

    Salah satu yang disorot adalah seputar tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh korporasi. Pasal 17 ayat (1) menyebutkan ‘Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya’.

    Umar menilai ketentuan ini tak pernah dijalankan. “Begitu banyak korporasi yang membiayai tindakan teroris,” ujarnya. Ia menunjuk perusahaan ekspedisi bernama CV Al Jazeera. “Mereka yang menjadi fasilitator sejak tahun 2002,” tuduh Umar. Ia mengaku mempunyai bukti mengenai hal itu. Sayangnya, pihak kepolisian tidak pernah bertindak.

    Panel Hakim Konsitusi seperti heran dengan upaya Umar cs dalam menguji ketentuan itu. Hakim Konsitusi Arysad Sanusi mengatakna bila pemohon menguji pasal tersebut maka pelaku teroris dari korporasi tidak bisa terjerat hukum. Arsyad sepertinya curiga dengan upaya Umar Cs ini. “Apa yang saudara sembunyikan disini?” tuturnya.

    Umar pun tak berkata banyak mengenai pertanyaan hakim itu. Ditemui di luar sidang, Umar mengaku tak mengerti maksud pertanyaan hakim. “Saya tidak mengerti. Kami kan belum terlalu paham cara pengajuan permohonan,” elaknya.


    Advokat ‘Dihukum’
    Di dalam sidang, Umar memang hanya ditemani dua rekannya yang sama-sama menjadi pemohon. Empat advokat yang ditunjuk sebagai kuasa hukumnya tak menunjukan batang hidung begitu sidang dimulai. Hal ini mungkin salah satu penyebab Umar kewalahan menjawab pertanyaan hakim. Empat advokat yang bertindak sebagai kuasanya adalah Ulung Purnama, Malvin Barimbing, Royke Bagalatu dan Ridwan Sihombing.

    Begitu sidang berlangsung setengah jalan, seorang advokat yang baru hadir bersiap memasuki ruang sidang. “Anda duduk saja dibelakang,” ujar Hakim Konstitusi Akil Mochtar. Si advokat yang sudah rapih berpakaian toga itu pun hanya duduk di belakang di kursi penonton. Ia hanya bisa mencatat tanpa bisa membantu kliennya menjawab pertanyaan dari para hakim.

    Akil memang sempat kesal dengan sikap advokat yang tak bisa menghargai waktu. “Ini mahkamah. Bukan pasar ikan,” sindirnya. Ia mengatakan para hakim konstitusi selalu tepat waktu dalam bersidang. Seharusnya advokat juga berlaku demikian. Apalagi, lanjutnya, pemohon memberi kuasa ke empat advokat. Akil mengatakan bila seandainya ada perkara di pengadilan lain yang lebih mahal, sedangkan untuk kasus ini probono, setidaknya ada satu advokat yang standby mendampingi pemohon.

0 comments: