• Tiga Prinsip Berinteraksi dengan Al Quran Selama Ramadhan

    "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
    (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
    penjelasan-penjelas an mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
    dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
    negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
    bulan itu.." (QS Al-Baqarah 2:185)

    Berdasarkan firman Allah tersebut di atas, selain sebagai bulan puasa,
    syahrul shiyam, Ramadhan juga merupakan syahrul Quran.

    Maka bukti bahwa kita telah menjadikan Ramadhan sebagai Syahrul Quran
    apabila kita telah melaksanakan semua prinsip yang ada di dalam petunjuk
    pelaksanaan berinteraksi dengan Al Quran sesuai dengan petunjuk
    Rasulullah SAW.

    Karakter-karakter dalam berinteraksi dengan Al Quran supaya maksimal
    hubungan kita dengan Al Quran dalam bulan Ramadhan dijelaskan dalam
    hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut.

    Pertama, adanya penyibukan diri dengan Quran.

    Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan, Allah SWT telah berfirman,
    "Barangsiapa yang disibukkan dengan Al Qur'an dan berdzikir kepada-Ku,
    hingga tidak sempat meminta kepada-Ku, maka aku akan memberikan apa yang
    terbaik yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan
    firman Allah atas perkataan makhluk-Nya adalah seperti keutamaan Allah
    atas semua makhluknya." (HR. Turmudzi)

    Dalam hadits ini kita menggarisbawahi kata disibukkan. Kata disibukkan
    di sini menunjukkan bahwa di antara interaksi kita dengan Al Quran
    adalah penyibukan diri kita dengan Al Quran. Penyibukan itu berarti kita
    bersedia untuk menjadikan sebagian besar waktu kita untuk Al Quran,
    maupun tetap memperhatikan keseimbangan dengan kegiatan lain dengan
    untuk Al Quran, sehingga kita tetap berada dalam terminologi sibuk
    dengan Al Quran.

    Maka tidak mungkin kita bisa sibuk dengan Al Quran kecuali bahwa kita
    harus bisa mewaspadai waktu-waktu kita agar jangan sampai tersedot oleh
    hal-hal lain, jangankan yang maksiat, bahkan yang mubah pun harus
    diwaspadai jangan sampai terjadi berlebihan, seperti tidur. Tidur itu
    mubah, tapi karena ini Ramadhan, maka harus diwaspadai, jangan sampai
    waktu kita tersedot untuk tidur yang berlebihan, sehingga kita bukannya
    sibuk dengan Quran, tapi sibuk dengan tidur, atau hal mubah lainnya
    seperti televisi dan seterusnya.

    Mereka yang sudah berhasil menyibukkan diri dengan Al Quran, bukan
    berarti kemudian akan kehilangan kesempatan-kesempat an bagian dari
    kehidupan dunia ini. Mereka tetap orang yang dapat hidup secara normal,
    secara standar, tanpa harus menghilangkan kesempatan-kesempat an
    kehidupan duniawi ini.

    Maka tidaklah orang yang meyibukkan dengan Al Quran, melainkan
    dijanjikan, "Aku berikan kepadamu dengan pemberian yang lebih baik
    daripada yang diberikan kepada orang-orang yang berdoa."

    Jadi dengan "sibuk dengan Al Quran" itu, seseorang akan mendapatkan
    semua yang didapatkan oleh orang beriman pada umumnya. Karena ketika
    bersama Al Quran, otomatis kita beritighfar, otomatis kita minta surga,
    otomatis kita bertasbih, bertahlil, semua bentuk permintaan kita kepada
    Allah ada di dalam Al Quran ini. Otomatis generasi kita generasi yang
    baik, karena ketika sampai di Al Furqon kita pasti membaca Robbanaa
    hablanaa min azwaajina wa dzurriyyatina qurrota a'yun, dan seterusnya.

    Kalau kita mengambil pelajaran umat Islam terdahulu, mungkin orang
    sekarang akan menilai "sibuk dengan Al Quran" yang ekstrim, karena
    hampir memutus semua kebiasaan yang ada.

    Kalau masyarakat Islam terdahulu, bahkan para ulama sampai memutus
    sementara hubungan dengan masyarakat, jadi tidak ada lagi yang mengajar
    hadits, fikih, tafsir. Semua ulama libur mengajar, Ramadhan khusus untuk
    menyibukkan diri.

    Tapi kalau hal ini kurang cocok di negeri ini, karena masyarakat ini di
    luar Ramadhan saja tidak mau mengaji, nah, kalau para ustadznya memutus
    pengajian selama bulan Ramadhan, maka masyarakatnya tambah tidak bertemu
    lagi dengan pengajian. Karena masyarakat kita, baru mau mengaji begitu
    Ramadhan.

    Kita juga dapat mengambil hikmah dari bagaimana "sibuk dengan Al
    Quran"-nya Imam Asy-Syafii yang sepanjang hari selalu selesai sekali
    khatam, terlepas catatan-catatan yang ada, atau benar atau tidaknya.

    Hal itu menjadi bukti bahwa dalam hidup kita harus ada "sibuk dengan Al
    Quran", sehingga ketika di luar Ramadhan belum bisa "sibuk dengan Al
    Quran", maka di Ramadhan inilah kesempatan untuk menyibukkan diri dengan
    Al Quran.

    Walaupun untuk sebuah proses pendidikan bisa jadi setiap kita memiliki
    kemampuan yang berbeda-beda. Misalkan bagi yang sangat sibuk, bisa
    khatam satu kali dalam bulan Ramadhan itu sudah prestasi yang bagus
    sekali.

    Sedangkan bagi yang pernah bisa khatam satu kali selama Ramadhan,
    sesungguhnya punya kemampuan untuk dua kali khatam, sehingga kemampuan
    "sibuk dengan Al Quran"-nya meningkat. Bagi yang pernah 2 kali, maka
    sesungguhnya punya potensi untuk 3 kali khatam, dalam rangka "sibuk
    dengan Al Quran", dan seterusnya.

    Secara standar untuk kehidupan yang masih manusiawi, sesungguhnya kita
    punya kekuatan untuk khatam Al Quran dalam Ramadhan itu kurang lebih
    sampai 10 kali. Kalau kita mau merintis, kemampuan ke sana sebenarnya
    ada, asal mau fokus. Buat 3 hari khatam, 3 hari khatam lagi, 3 hari
    khatam lagi dan seterusnya.

    Untuk bisa mencapai hal itu, diperlukan fokus, dan kerjasama semua
    pihak, adanya keluarga di rumah yang saling mendukung. Serta diperlukan
    kemampuan baca yang sudah lancar, antara penglihatan dan pengucapan
    sudah cepat, bukan lihatnya kapan, bacanya kapan. Insya Allah bisa.

    Pada akhirnya, disesuaikan pada setiap diri kita masing-masing, yang
    penting selalu ada peningkatan dari tahun ke tahun.

    Kedua, al man-u, tercegah.

    Rasulullah bersabda: "Puasa dan Quran itu nanti di hari kiamat
    memintakan syafaat seseorang hamba. Puasa berkata: Ya Allah, aku telah
    mencegah dia memakan makanan dan menyalurkan syahwatnya di siang hari,
    maka berilah aku hak untuk memintakan syafaat baginya.

    Dan berkata pula Al Quran: Ya Allah, aku telah mencegah dia tidur di
    malam hari (karena membacaku), maka berilah aku hak untuk memintakan
    syafaat baginya. Maka keduanya diberi hak untuk memintakan syafaat."
    (HR. Ahmad, Hadits Hasan)

    Kata "mencegah" di sini, dimaksudkan mencegah tidur. Artinya, bilamana
    Al Quran itu mencegah kita untuk melakukan aktifitas-aktifitas mubah
    kita, khususnya tidur, khususnya lagi di waktu malam, serta
    aktifitas-aktifitas mubah yang lain. Mungkin tiap hari kita mempunyai
    jatah nonton tv, nonton berita, trus dialog, trus, tidak
    selesai-selesai. Untuk Ramadhan, sebaiknya stop dulu semua, tak ada tv
    dulu.

    Maka di sini ada "mencegah", sejauh mana Al Quran bisa mencegah berbagai
    aktifitas mubah kita, apalagi yang maksiat, maka waktu dan aktifitas
    kita difokuskan untuk al Quran. Sehingga Al Quran mencegah diri kita
    dari bersantai, dari lalai, melamun, hatta mengobrol. Semua waktu dan
    aktifitas menjadi sangat berarti karena Al Quran.

    Ketiga, at takrir, penghargaan.

    Rasulullah bersabda, "Tidak boleh hasad (iri) kecuali dalam dua perkara,
    yaitu: orang yang dikaruniai Allah Al-Qur'an lalu diamalkannya pada
    waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah harta lalu
    diinfakkannya pada waktu malam dan siang". (Hadits Muttafaq 'Alaih).
    Yang dimaksud hasad di sini yaitu mengharapkan seperti apa yang dimiliki
    orang lain.

    Penghargaan ini tekait dengan perasaan dalam diri. Maka hadits tersebut
    merupakan dorongan dari Rasulullah agar setiap orang beriman punya
    perasaan tentang keagungan Al Quran di dalam dirinya, perasaan nilai
    yang sangat berarti.

    Kalau menginginkan hal yang terkait dengan duniawi semua sudah bisa,
    lihat rumah bagus, pengen, mobil bagus, ingin. Nah, bagaimana kemudian
    dalam diri orang beriman bisa punya perasaan, keinginan, untuk merasakan
    nikmat Al Quran. Karena hanya dengan adanya keinginan ini, maka akan ada
    kompetisi, artinya kita akan merasa termotivasi ketika melihat orang
    lain lebih rajin dari diri kita.

    Misalnya, ketika Ramadhan sudah tanggal 5, "Kamu sudah berapa juz?"
    Ketika melihat saudaranya sudah 15 juz, saya koq baru 5 juz. Maka dia
    termotivasi untuk lebih banyak lagi membaca Al Quran. Itu namanya at
    takrir, adanya perasaan penghargaan.

    Bukan sebaliknya, dia malah mencari pembenaran terhadap dirinya, "Kamu
    mah enak, ga punya bayi, saya sih punya." Bayi jadi disalah-salahkan.
    Kalaupun tidak bisa sama, minimal berusaha miriplah, misal 7-8 juz. Saat
    tanggal 10 Ramadhan, kamu koq sudah khatam, saya baru 15 juz, "Masak
    kalah sama saudara saya," maka meningkatlah motivasinya untuk
    memperbanyak membaca Al Quran.

    Jadi dengan sikap seperti itu, akan terasa bahwa pergaulan kita
    sebagaimana hadits yang diungkapkan Rasulullah, bahwa keberadaan orang
    beriman itu adalah bagaikan cermin bagi saudaranya, "Saya kalah jauh
    bacaan Quran dengan saudara saya, berarti saya kurang mujahadah."

    Di balik mungkin kita dalam kondisi belum mampu, tapi kalau motivasinya
    bertambah, belum mampunya kita, pasti akan meningkat. Ibarat tadi
    dapatnya 5 juz, termotivasi jadi 7 juz. Peningkatan ini sangat mungkin
    terjadi kalau memiliki motivasi yang kuat.

    Itulah tiga prinsip dalam berinteraksi dengan Al Quran agar terjadi
    interaksi yang maksimal selama bulan Ramadhan sesuai dengan taujih
    Robbani dalam Al Baqarah ayat 185 di atas. Sehingga tiap tahun tidak
    hanya terjadi interaksi yang rutin, dari dulu sampai sekarang, setiap
    kali ditanya tentang kegiatannya di bulan Ramadhan, "Biasa, baca Al
    Quran."

    Nah, sekarang coba ditingkatkan, baca al Quran yang seperti apa? Kita
    ikuti petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, agar kemiripan interaksi kita
    seperti petunjuk Rasulullah, supaya lebih memperdekat dengan janji-janji
    Allah yang lain, ada janji syafaat, janji pembelaan, janji masuk surga
    sampai tingkat tertinggi dan seterusnya akan bisa kita raih, insya
    Allah. (dian)

    Disarikan dari Kajian Tafsir Quran Selasa Pagi yang disampaikan ust
    Abdul Azis Abdur Rauf, Lc di Masjid Al Hikmah, 12 Agustus 2008/11
    Sya'ban 1429H.

0 comments: