Buayan penghuni hati tak jua basahkan jiwa
Menatap dalam duka di heningnya temaram
Kisi-kisi kalbumenari anggun terbuai nirwana
Dan cinta tak kunjung padam dihempas badai
Bagai anak burung berjingkat-jingkat dari dahan kedahan
Manggoreskan bekas di setiap ranting-ranting yang dihinggapi
Terasa merdu terdengar suara simfoni alam
Menguapkan embun pagi yang terkikis mentari
Lalu duniapun menatap sinis
Seolah menghardik dengan sadis
Keanggunan yang kucari keserakahan yang kugapai
Sepercik air yang kuharap air bah yang kudapat
Perlahan namun pasti putaran iris janji tertumpah jua
Dan dentuman alunan rindu tak tertahan membelah rongga hati
Pada siapa kumenari dalam hening
Padahal Mentari tak kunjung bosan menyinari
BISU DALAM TATAPAN
Bagai awan putih menari di kepala
Memancarkan birunya langit dalam biasan sang surya
Mata yang berbinar meneduhkan panasnya nestapa
Memancarkan oasis di gersangnya angin barat
Terperanjat dalam setiap kedipan
Terpesona dalam setiap tuturkata
Akankah gelombang terus menusuk daging hingga ketulang
Ataukah hancur bagai es kutub yang perlahan mencair
Tak terperi tatkala hati meronta
Seolah pelangi mmbisukan setiap ucapan
Perangai mimpi menjadi-jadi dalam detik nafas
Dan melodi menjadi lagu seperti pena menjadi puisi
Semerbak kesturi tak kuhiraukan
Aku egois dalam sekuntum bunga
Tak peduli duri yang aan melukaiku
Berharap abadi akan kugapai meski aral membentang
Dalam simbahan harap ku memohon
SIMFONI KEHENINGAN
Punahnya mentari disore ini seakan yankin esok kembali lahir
Langit yang memerah jingga menyisakan satu titik sinar di ufuk timur
Suara bintang gemintang kembali membahana
Seakan bertalu-talu merebut keheningan dalam gelap
Kesombongan binatang malam Berteriak mengacaukan senyapnya kejujuran
Hitam pekat dunia ini terasa
Padahal putihnya salju menjadi ribuan damba bahkan jutaan
Lalu tergolek tanpa daya dalam syair tak berujung
Terimakasih pada tanah, air, udara bahkan api
yang tanpa lelah silih berganti terlupakan
Yang mememkarkan sekuntum bunga dilangit ketujuh
Yang membelah bebijian yang tertanam di alam nirwana
Lalu ijinkan jemari halus mengussap wajah penuh kerutan
Arahkan mata angin yang perlahan membelok
Jadikan muara menyapa dermaga
NALURI
Lorong sempit bercadas tak jua benamkan hati
Tanpa alas kaki terus melangkah
Bagai ikuti naluri berjalan tanpa navigasi
Panasnya aspal dan pengapnya kota mendewasakan nyali
Cemoohan, hardik, umpatan adalah sarapan
Kegetiran, keutusasaan dan malu adalah cinta
Manusia dengan janji tanpa menoleh
insan yang anggun namun tuli, buta dan bisu
Kemana jiwa melahap derasnya kasih
Dimanakah peluh menjadi cairan sayang
Sedangkan rindu menguap di tepian perdu
Lalu hilang tanpa jejak
Lusuh, kurus, kumal,dan pucat itulah nestapa
Emas, berlian, intan,dan mutiara itula duka
Entah apa di mata sang dewa
Matikah ia dalam balutan kemahadigjayaan
Cipt Cahya Sunandar 2008
0 comments:
Posting Komentar